6 Keutamaan Mencari Nafkah
Kadang kita -sebagai suami- merasa lelah, capek sehingga banyak mengeluh. Pergi begitu pagi, pulang pun ketika
matahari akan tenggelam, rasa lelah yang kita dapat. Kegiatan mencari nafkah
sebenarnya suatu amalan yang mulia yang patut diniatkan dengan ikhlas sehingga
bisa meraih pahala. Karena keutamaannya amat luar biasa, pahalanya yang besar,
bahkan bisa sebagai tameng dari jilatan neraka.
Sebelum kita memahami keutamaan mencari nafkah, terlebih dahulu
kita melihat bagaimanakah Islam mengajarkan prioritas dalam penyaluran harta
atau penghasilan suami.
Prioritas dalam Pengeluaran Harta
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ
رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ
آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh hasad (ghibtoh)
kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu
ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al
Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816)
Ketika menjelaskan hadits di atas, Ibnu Battol rahimahullah menjelaskan:
Sebagian ulama menyebutkan bahwa pengeluaran harta dalam kebaikan
dibagi menjadi tiga:
- Pengeluaran untuk kepentingan
pribadi, keluarga dan orang yang wajib dinafkahi dengan bersikap
sederhana, tidak bersifat pelit dan boros. … Nafkah seperti ini lebih
afdhol dari sedekah biasa dan bentuk pengeluaran harata lainnya. Karena
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh tidaklah engkau
menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah
Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran
pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu”
(HR. Bukhari).
- Penunaian zakat dan hak Allah. Ada
ulama yang menyatakan bahwa siapa saja yang menunaikan zakat, maka telah
terlepas darinya sifat pelit.
- Sedekah tathowwu’ (sunnah) seperti
nafkah untuk menyambung hubungan dengan kerabat yang jauh dan teman dekat,
termasuk pula member makan pada mereka yang kelaparan.
Setelah merinci demikian, Ibnu Battol lantas menjelaskan,
“Barangsiapa yang menyalurkan harta untuk tiga jalan di atas, maka ia berarti
tidak menyia-nyiakan harta dan telah menyalurkannya tepat sasaran, juga boleh
orang seperti ini didengki (bersaing dengannya dalam hal kebaikan).” (Lihat
Syarh Bukhari, Ibnu Battol, 5: 454, Asy Syamilah).
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al 'Utsaimin rahimahullah pernah
menjelaskan, “Sebagian orang tatkala bersedekah untuk fakir miskin atau yang
lainnya maka mereka merasa bahwa mereka telah mengamalkan amalan yang mulia dan
menganggap sedekah yang mereka keluarkan itu sangat berarti. Adapun tatkala
mengeluarkan harta mereka untuk memberi nafkah kepada keluarganya maka
seakan-akan perbuatan mereka itu kurang berarti, padahal memberi nafkah kepada
keluarga hukumnya wajib dan bersedekah kepada fakir miskin hukumnya sunnah. Dan
Allah lebih mencintai amalan wajib daripada amalan sunnah.” (Sebagaimana
penjelasan beliau dalam Riyadhus Shalihiin)
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa mesti ada prioritas dalam
penyaluran harta. Yang utama sekali adalah pada istri, anak, lebih lagi pada
anak perempuan sebagaimana diterangkan dalam keutamaan mencari nafkah berikut
ini. Setelah kewajiban pada keluarga, barulah harta tersebut disalurkan pada
zakat dan sedekah sunnah.
Mengenai keutamaan mencari nafkah di antaranya
dijabarkan dalam enam poin berikut ini.
Pertama: Nafkah kepada keluarga
lebih afdhol dari sedekah tathowwu’ (sunnah)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ
اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى
مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى
أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
“Satu dinar yang engkau
keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk
memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau yang engkau keluarkan
untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan
untuk keluargamu maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang
disebutkan tadi, pen)” (HR. Muslim no. 995).
Imam Nawawi membuat judul untuk hadits ini, “Keutamaan nafkah bagi
keluarga dan hamba sahaya, serta dosa bagi orang yang melalaikan dan menahan
nafkahnya untuk mereka”. Dalam Syarh Muslim (7: 82), Imam Nawawi mengatakan,
“Nafkah kepada keluarga itu lebih afdhol dari sedekah yang hukumnya sunnah”.
Kedua: Jika mencari nafkah
dengan ikhlas, akan menuai pahala besar
Dari Sa’ad bin Abi Waqqosh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً
تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ
فِى فِى امْرَأَتِكَ
“Sungguh tidaklah engkau
menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah
(pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang
besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari no. 56). Imam Al Bukhari memasukkan hadits ini
pada masalah ‘setiap amalan tergantung pada niat’. Ini menunjukkan bahwa
mencari nafkah bisa menuai pahala jika diniatkan dengan ikhlas untuk meraih
wajah Allah. Namun jika itu hanya aktivitas harian semata, atau yakin itu hanya
sekedar kewajiban suami, belum tentu berbuah pahala.
Ketiga: Memberi nafkah termasuk sedekah
Dari Al Miqdam bin Ma’dikarib, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ
وَمَا أَطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ زَوْجَتَكَ
فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Harta yang dikeluarkan
sebagai makanan untukmu dinilai sebagai sedekah untukmu. Begitu pula makanan yang
engkau beri pada anakmu, itu pun dinilai sedekah. Begitu juga makanan yang
engkau beri pada istrimu, itu pun bernilai sedekah untukmu. Juga makanan yang
engkau beri pada pembantumu, itu juga termasuk sedekah” (HR. Ahmad 4: 131. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
hadits ini hasan).
Keempat: Harta yang
dinafkahi semakin barokah dan akan diberi ganti
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ
فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ
مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفً
“Tidaklah para hamba berpagi
hari di dalamnya melainkan ada dua malaikat yang turun, salah satunya berkata,
“Ya Allah, berilah ganti kepada orang yang senang berinfak.” Yang lain
mengatakan, “Ya Allah, berilah kebangkrutan kepada orang yang pelit.” (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010). Seseorang yang
memberi nafkah untuk keluarganya termasuk berinfak sehingga termasuk dalam
keutamaan hadits ini.
Kelima: Setiap
orang akan dimintai pertanggungjawaban apakah ia benar memperhatikan nafkah
untuk keluarganya
Dari Anas bin Malik, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ
عَمَّا اسْتَرْعَاهُ
“Allah akan bertanya pada
setiap pemimpin atas apa yang ia pimpin” (HR. Tirmidzi no. 1705.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan,
إن الله سائل كل راع عما استرعاه :
أحفظ أم ضيع
“Allah akan bertanya pada
setiap pemimpin atas apa yang ia pimpin, apakah ia memperhatikan atau
melalaikannya” (HR. Ibnu Hibban 10: 344.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Keenam:
Memperhatikan nafkah keluarga akan mendapat penghalang dari siksa neraka
‘Adi bin Hatim berkata,
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ
تَمْرَةٍ
“Selamatkanlah diri kalian
dari neraka walau hanya melalui sedekah dengan sebelah kurma” (HR. Bukhari no. 1417)
‘Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,
دَخَلَتْ امْرَأَةٌ مَعَهَا
ابْنَتَانِ لَهَا تَسْأَلُ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِي شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ
فَأَعْطَيْتُهَا إِيَّاهَا فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابْنَتَيْهَا وَلَمْ تَأْكُلْ
مِنْهَا ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَيْنَا فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ
“Ada seorang ibu bersama dua putrinya menemuiku meminta makanan,
akan tetapi ia tidak mendapati sedikit makanan pun yang ada padaku kecuali
sebutir kurma. Maka aku pun memberikan kurma tersebut kepadanya, lalu ia
membagi sebutir kurma tersebut untuk kedua putrinya, dan ia tidak makan kurma itu
sedikit pun. Setelah itu ibu itu berdiri dan pergi keluar. Lalu masuklah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka aku pun mengabarkannya tentang ini, lantas beliau bersabda,
مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ
الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
"Barangsiapa
yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan lalu ia berbuat baik kepada
mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka" (HR. Bukhari no 1418 dan Muslim no 2629).
Ummu Salamah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ أَنْفَقَ عَلَى ابْنَتَيْنِ أَوْ
أُخْتَيْنِ أَوْ ذَوَاتَىْ قَرَابَةٍ يَحْتَسِبُ النَّفَقَةَ عَلَيْهِمَا حَتَّى
يُغْنِيَهُمَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ أَوْ يَكْفِيَهُمَا كَانَتَا
لَهُ سِتْراً مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa mengeluarkan
hartanya untuk keperluan kedua anak perempuannya, kedua saudara perempuannya
atau kepada dua orang kerabat perempuannya dengan mengharap pahala dari Allah,
lalu Allah mencukupi mereka dengan karunianya, maka amalan tersebut akan membentengi
dirinya dari neraka” (HR. Ahmad 6: 293. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if)
Dua hadits terakhir ini menerangkan keutamaan memberi nafkah pada
anak perempuan karena mereka berbeda dengan anak laki-laki yang bisa mencari
nafkah, sedangkan perempuan asalnya di rumah.
Ya Allah, berikanlah kami taufik untuk mencari
nafkah dengan ikhlas dan cara yang halal sehingga kami pun terbebas dari siksa
neraka dan dimasukkan dalam surga.
Wallahu waliyyut taufiq.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 24 Rabi’ul Awwal 1433 H
Komentar