Sang Pencerah
Figur sang tokoh..!!!
Gbr.KH Ahmad Dahlan |
Tokoh ini merepresentasikan figur anti kemapanan sistem sosial yang diyakininya menyimpang. Ia dengan gagasan perubahan yang diusungnya memberi cahaya baru melalui gerakan pemurnian dan pencerahan.Walaupun untuk ikhtiarnya itu ia harus menghadapi olok-olok, caci maki, fitnah dan arogansi kekuasaan. Sikap istiqomah pada akhirnya mengantarkan gagasan perubahan yang diusungnya semakin nyata dan memberi inspirasi bagi banyak orang untuk melakukan perlawanan terhadap kemapanan sebuah sistem sosial dan arogansi penguasa lokal yang menyimpang . Itulah KH. Ahmad Dahlan, Sang Pencerah!
Barangkali ini pesan moral yang ingin disampaikan oleh penulis naskah dan stradara Sang Pencerah seperti telah kita saksikan bersama. Masih terngiang ditelinga saya beberapa kalimat penggugah yang diucapan para tokoh dalam film tersebut . Kalimat-kalimat itu masih relevan dengan situasi dan kondisi kekinian. Kalimat penggugah pertama yang membuat saya terkesan adalah ucapan Kyai M Fadlil berupa satire untuk orang-orang yang gemar berhaji tetapi gagal memahami agama secara benar.
Jika kita memperhatikan, ada begitu banyak petinggi pemerintahan dan tokoh masyarakat yang bergelar Haji, tetapi mungkin masih sedikit diantara mereka yang mampu memahami dan mengaktualisasikan agama secara benar sesuai kondisi kekinian dan kontekstual. Kondisi seperti itu jelas tersirat dalam ucapan Kyai M. Fadlil, saat memberi nasihat kepada Darwis [Ahmad Dahlan muda] ketika meminta ijin untuk berangkat haji. “.. berapa banyak kyai-kyai di Kauman itu yang pergi ke Mekkah, sekali, dua kali, tiga kali, tetapi tetap goblok soal agama”. Sejalan dengan itu, KH Ahmad Dahlan juga memberikan ilustrasi menarik tentang bagaimana agama difahami secara keliru melalui contoh permainan biola yang “kacau”, menurutnya itulah agama, kalau kita tidak mempelajarinya dengan benar akan membuat resah lingkungan kita dan jadi bahan tertawaan. Jadi buat apa kita mengaji banyak-banyak surat tetapi hanya untuk dihafal ?
Selain tentang pemahaman agama yang dangkal, juga terdapat pesan moral tentang bagaimana penyakit sesat fikir menjangkiti otak manusia, bahkan yang bergelar Kyai sekalipun. Hanya karena peta [ilmu falaq] dibuat oleh orang Barat yang mereka sebut Kafir, maka arah kiblat yang mendasarkan pada perhitungan dalam peta tersebut ditolak karena dianggap sama dengan kafir, meskipun perhitungannya secara geografis sudah benar. Digambarkan juga contoh sesat fikir lainnya melalui adegan seorang Kyai Sepuh dari Magelang yang mencerca sekolah KH. Ahmad Dahlan karena dianggap menggunakan caranya orang kafir hanya karena Madrasah Ibtidaiyah Dinniyah Islam pada waktu itu tidak mengenal tradisi belajar dengan menggunakan meja seperti yang dirintis KH. Ahmad Dahlan. Padahal sang Kyai Sepuh sendiri berangkat dari Megelang ke Jogjakarta mengendarai Kereta Api yang itu notabene buatan Belanda. Saya tersenyum geli ketika sampai pada adegan ini karena mengingatkan pada penyakit sesat fikir yang saat ini menjangkiti sebagian kawan-kawa di Asahan karena selalu sibuk menyoal “siapa” tanpa pernah mau mendengarkan “apa”. Untuk mengoreksi hal ikhwal penyakit sesat fikir ini, KH. Ahmad Dahlan mengatakan; “..tapi, satu hal yang penting, bukan siapa kita, tetapi bagaimana kita untuk umat”.
Pesan berikutnya tentang bagaimana kekuasaan yang dibungkus agama kerap digunakan untuk memberangus orang-orang yang dirasa mengancam kedudukan. Penghulu Masjid Besar sebagai penguasa lokal di Kauman ketika itu bahkan meminta menutup langgar KH. Ahmad Dahlan dengan alasan antara lain karena jumlah jamaah Masjid Besar berkurang dan arah kiblat Langgar dianggap tidak sesuai dengan Masjid Besar. Setelah permintaan tersebut ditolak KH. Ahmad Dahlan, bahkan sang Penghulu mengerahkan massa untuk merobohkan langgar itu. Arogansi kekuasaan secara lebih ilustratif juga dipertontonkan dalam adegan penolakan sang Penghulu terhadap permohonan ijin mendirikan perkumpulan Muhammadiyah karena mengira KH.Ahmad Dahlan ingin mengangkat dirinya sendiri menjadi Resident yang akan menancam kedudukan serta kekuasaan Penghulu Masjid Besar Kauman. Syukur pada akhirnya Sang Penghulu menyadari kekeliruannya dan memberikan pesan yang sangat inspiratif; “..ketika kita memimpin orang lain, kadang kita lupa bertanya apakah kita sudah mampu memimpin diri kita sendiri.”
Setidaknya inilah beberapa pesan moral yang terkandung dalam film Sang Pencerah garapan Sutradara Hanung Bramantyo. Saya membayangkan setelah menonton film tersebut ada diskursus menarik untuk menggali konteks kekinian dari semangat perjuangan dan perlawanan KH. Ahmad Dahlan yang dapat memberi inspirasi positif bagi perubahan. Sebab pesan moral yang terkandung dalam film tersebut rasanya terlalu berharga untuk sekadar dibawa lelap tidur setelah menontonnya.
Sudah saatnya Indonesia memiliki lebih banyak lagi tokoh puritan [pemurnian] seperti KH. Ahmad Dahlan, tidak hanya untuk pemurnian dan pencerahan sistem sosial serta praktik beragama, tetapi juga bagi praktik berpemerintahan dan sistem sosial kemasyarakatan yang kita rasa menyimpang dan mapan di Indonesia. Kemapanan yang menyimpang harus didobrak, dilawan dan diubah, karena pada hakikatnya sebuah kemapanan adalah bentuk kemandegan yang bertentangan dengan sunatullah.
Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika mereka tidak berusaha mengubah sendiri nasibnya. Walaupun mungkin kita hanyalah segelintir orang atau bahkan seorang diri merindukan perubahan untuk Indonesia yang lebih bersih dan lebih sejahtera, jangan pernah berkecil hati, apalagi merasa terasing. Fahrudin, murid KH Ahmad Dahlan memberikan pesan yang luar biasa untuk melecut semangat kita; “..sesungguhnya Islam hadir dalam keadaan terasing, dan akan kembali dalam keadaan terasing pula. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu karena sesungguhnya merekalah yang merapikan segala sesuatu yang salah”
Komentar